Selainitu, sistem pemerintahan di Indonesia sekarang merupakan warisan dari penerapan ajaran Trias Politica yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam badan yudikatif di struktur tersebut, pemerintahan kolonial Belanda membagi badan peradilan menjadi tiga macam berdasarkan golongan masyarakat di Hindia-Belanda. - Sebuah koloni, menurut pemikiran para penakluk dan pedagang asal Eropa abad ke-16 dan 17, adalah wilayah yang seharusnya menghasilkan keuntungan. Demikian tulis Bartholomew Landheer dalam "The Netherlands East Indies Come of Age" Netherlands Information Bureau, 1942. VOC alias Kompeni yang didirikan pada 1602, menjalankan betul pendapat ini. Mereka imbuh Landheer, menjadi simbol semangat komersial, dorongan kewirausahaan, dan keberanian untuk mengarungi lautan ala Belanda dalam menghasilkan keuntungan dari koloninya Hindia di Timur Jauh ini membuat Belanda terbebas dari cap buruk yang digaungkan orang-orang Portugis, yakni “isla inutiles” atau “tanah tak berguna”. Pendapatan VOC dari Hindia Belanda menurut perkiraan Oscar Gelderblom dalam "The Formative Years of the Modern Corporation" The Journal of Economic History, Vol. 73 2013 mencapai 4 juta gulden saban tahunnya, setara dengan $240 juta atau Rp3,6 triliun dengan kurs saat Kompeni memberikan uang melimpah kepada Belanda terjadi karena perusahaan ini tak dijalankan selayaknya perusahaan pada merujuk penuturan Gelderblom, Cornelis de Houtman berangkat ke Nusantara pada 1595, dan kembali dua tahun kemudian dengan tangan hampa karena pendapatan yang diperolehnya tak sebanding dengan biaya bakal Kompeni melanjutkan estafet pada 1598 dengan terlebih dulu melakukan revolusi, yakni memperkenalkan sistem "beperkte aansprakelijkheid" alias tanggung jawab terbatas untuk para investornya, yang memastikan pemberi modal tak merugi melebihi modal yang disetorkan jika ekspedisi tak membuahkan hasil. Dan untuk memastikan perusahaan rintisan ini menjadi Kompeni yang mendulang hasil manis, Belanda memberikan keistimewaan berupa “staatsbedrijf” alias kemampuan untuk bertindak selayaknya negara. VOC berhak membentuk kekuatan militer, melakukan perjanjian dengan negara lain, menyatakan perang, dan menerbitkan mata uang untuk melakukan monopoli Belanda menciptakan negara berkedok perusahaan atau negara dalam negara-meminjam frasa yang dilontarkan Simon Schama dalam The Embarrassment of Riches 1987, menghasilkan “kekayaan yang memalukan.”Memalukan karena dengan membuat Kompeni yang memiliki kekuasaan selayaknya negara, Belanda tak menganggap penduduk pribumi Hindia Belanda sebagai manusia alias hanya objek milik perusahaan. Praktik mengeruk kekayaan tak berperikemanusiaan ini, seabad selepas Kompeni didirikan, ditentang sebagian masyarakat Belanda. Pencerahan dan Ide Persemakmuran Belanda Dalam "Indonesia and the Origins of Dutch Colonial Sovereignty" The Far Eastern Quarterly, Vol. 10 1951, Justus M. van der Kroef menyebut munculnya tentangan terhadap Kompeni, dalam konteks berperilaku selayaknya negara, merupakan buah dari menggemanya konsep "kedaulatan nasional" di Eropa sejak abad ke-18 sebagai residu dari Revolusi Prancis dengan semangat ini mendorong pelbagai negara di Eropa berlomba-lomba melakukan perubahan dengan mulai menjunjung tinggi hak-hak individu dan melakukan reformasi pemerintahan. Namun, di saat yang sama, perusahaan mereka di negeri-negeri jauh seperti VOC Belanda dan British East India Company Inggris tak perusahaan-perusahaan tersebut dianggap tak mencerminkan jatidiri Eropa pasca Revolusi Prancis. Hal ini ditentang khususnya oleh intelektual Prancis bernama L'Abbe Guillaume T. Raynal lewat publikasinya pada 1770-an berjudul “Histoire Philosophique et Politique des Etablissements et du Commerce des Européens dans les deux Indes”. L'Abbe Guillaume T. Raynal menyebut Belanda sebagai "negeri munafik karena meskipun telah menghapus praktik korupsi di dalam negeri, tetap mempertahankan praktik bejat ini di koloninya lewat Kompeni.” Padahal, tegas Raynal, “hak alamiah orang-orang Eropa juga seharusnya berlaku bagi 'orang biadab yang mulia' noble savage di Afrika dan Asia.” Sementara dalam buku berjudul Consideration on Indian Affair 1772, cendekiawan Inggris bernama William Bolts, menyatakan kehadiran perusahaan seperti Kompeni dan EIC “melecehkan kedaulatan suatu negara Eropa karena pemberian 'kedaulatan' terhadap mereka perusahaan, membuat sekelompok pedagang memiliki kekuasaan yang tak seharusnya mereka miliki [...] Padahal, secara alamiah manusia merupakan subjek hukum dari negara/kerajaan, bukan perusahaan.” Dua publikasi ini, menurut van der Kroef “sukses mengguncang Eropa.”Ditulis orang Prancis dan Inggris dalam bahasa mereka masing-masing, awalnya dua publikasi ini tak terdengar para pejabat Belanda. Namun, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh penerbit lokal bernama Gosse, karya Raynal dan Bolts akhirnya terdengar juga di Belanda. Hal ini kemudian mendorong munculnya diskursus tentang pembubaran Kompeni dan perusahaan asal Eropa sejenis. Terlebih, berbarengan dengan kemunculan pencerahan ini, perusahaan-perusahaan tersebut kian terjerembab dalam pusaran korupsi. Masalah kritis ini menurut Edmund Burke dalam “The Cambridge History of British Empire,” timbul karena status "negara dalam negara" menyulitkan pemerintah yang paling bijak dan jujur sekalipun untuk memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang didelegasikan dari jarak jauh."Pejabat-pejabat EIC dan Kompeni menghasilkan kekayaan yang tak terukur dan mereka dilindungi oleh kekuatan dari kekayaan yang diperoleh secara buruk itu,” imbuhnya. Karena Pemerintah Belanda dan Kompeni dikendalikan oleh orang-orang yang sama, yakni oligarki pedagang, maka munculnya diskursus tentang pembubaran Kompeni awalnya tak diindahkan. Alasannya, tersirat dalam sebuah ungkapan Belanda "Indie Verloren, Rampspoed Geboren” Hindia Hilang, Kesengsaraan Datang, Kompeni dengan kuasa ala negaranya atas Hindia Belanda keburu bertransformasi menjadi sokoguru ekonomi Belanda. Para pejabat Pemerintah Belanda dan Kompeni lebih menghendaki pemberian "redelijke beschaving" atau "peradaban yang masuk akal" kepada Hindia Belanda, alih-alih membubarkan tiga dekade sebelum abad ke-18 berakhir, Belanda kemudian menghendaki “Netherlands Commonwealth”, yakni memberikan sedikit kekuasaan pada Hindia Belanda untuk mengurusi dirinya sendiri sambil mengizinkan Kompeni tetap menjalankan aktivitasnya di Hindia Belanda dengan kekuasaan yang ini tak begitu saja dijalankan Belanda. Pasalnya, Prancis dan Inggris telah melakukannya terlebih dulu dan berakibat buruk. Dalam menjalankan semangat pencerahan bagi koloninya, Prancis dan Inggris menerima dua hasil berbeda. Bagi Inggris, setelah EIC berada di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan dan Pemerintah Tertinggi di Kalkuta British Raj, pencerahan ini membuat EIC tidak terlalu pencerahan yang dihadirkan Prancis untuk koloninya, khususnya di San Doming Santo Domingo, membuat populasi Negro di bawah kekuasan Toussaint I’Ouverture alias “Napoleon Hitam”, memberontak dan memutuskan semua hubungan dengan Prancis. Infografik Mozaik Netherlands Commonwealth. yang dialami Inggris dan Prancis tentu tak dikehendaki Belanda. Terlebih, tulis van der Kroef dalam "Indonesia and the Origins of Dutch Colonial Sovereignty" The Far Eastern Quarterly, Vol. 10 1951, tak seperti Inggris, dalam tubuh Belanda tak ada persatuan dan kepedulian terhadap kepentingan nasional, sehingga pencerahan untuk Hindia Belanda hanya jadi omong setelah Inggris mengakui kemerdekaan Amerika Serikat pada 1783 lewat Perjanjian Paris, serta kian terpuruknya Kompeni dalam lingkaran korupsi, Belanda akhirnya melakukan pencerahan di Hindia Belanda. Mereka mengeluarkan perintah atas nama Pemerintah Provinsi Holland provinsi yang memiliki saham terbesar di Kompeni yang mengharuskan direktur Kompeni memberikan informasi aktivitas perusahaannya. Sialnya, perintah ini diterbitkan secara rahasia, hanya diketahui Pemerintah Provinsi Holland dan direktur Kompeni, tanpa melibatkan pemilik saham lain-pemerintah provinsi lain dan bahkan pemerintah pusat. Ini dilakukan karena Pemerintah Provinsi Holland masih waswas usahanya mengendalikan Kompeni berbuah malapetaka "Indie Verloren, Rampspoed Geboren” Hindia Hilang, Kesengsaraan Datang.Namun, karena korupsi di Kompeni kian tak tertolong, 13 tahun kemudian perintah tersebut diketahui pemilik kepentingan lain di Kompeni. Dimulai dengan investigasi yang dilakukan sejak 15 Juni 1795 terhadap Kompeni yang menyatakan bahwa "Kompeni bobrok", maka pada 24 Desember 1795 Kompeni akhirnya saat itu, hingga Kompeni benar-benar bubar pada 31 Desember 1799, kekuasaan terbatas dalam memerintah diberikan Belanda kepada Hindia Belanda. Seturut laporan Dirk van Hogendorp berjudul "Berigt" pada 1799, pemberian kekuasaan terbatas ini-seperti yang dilakukan Inggris terhadap koloninya-semata-mata untuk mengeruk keuntungan dari Hindia Belanda yang lebih besar dibandingkan yang pernah diberikan Kompeni. "Orang Inggris, karena administrasi mereka lebih baik dan memberikan kepemilikan tanah kepada penduduk pribumi, membuat koloni mereka jauh menguntungkan dibandingkan sebelumnya era EIC [...] Terjadi karena dengan membebaskan mereka, kepentingan komersial menjadi lebih terukur,” kekuasaan beralih dari Kompeni ke tangan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pendapatan yang diperoleh Belanda atas tanah jajahannya itu tak terlalu jauh dari prediksi laporan Dirk van Hogendorp. Di sisi lain, semangat pencerahan ini menciptakan mimpi buruk bagi Belanda karena kemudian melahirkan semangat nasionalisme kaum pribumi. Semangat ini, merujuk studi yang dilakukan Homer G. Angelo dalam "Transfer of Sovereignty Over Indonesia", misalnya, sebelumnya tak pernah ada secara alamiah di dalam pribadi-pribadi pribumi Hindia Belanda. - Sosial Budaya Penulis Ahmad ZaenudinEditor Irfan Teguh Pribadi Hariitu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana. Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang.

Sebelumpecah perang dunia kedua ketika Indonesia berada dalam kekuasaaan Pemerintah Kolonial Belanda berbagai macam organisasi guru berdiri. Kehidupan organisasi guru tersebut diwarnai dengan berbagai macam pengaruh dari luar, baik yang bersifat kebijaksanaan pemerintahan kolonial maupun kondisi masyarakat waktu itu. atau anak-anak pegawai

C Mengevaluasi Penjajahan Pemerintah Hindia Belanda. 1. Masa Pemerintahan Republik Bataaf sepakat untuk menerapkan kebijakan jalan tengah maksudnya eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk. b. Sistem Tanam Paksa.

Padatahun 1905, pemerintah Hindia Belanda mulai mengimplementasikan kebijakan Politik Etis yang terdiri dari Edukasi, Irigasi, dan Migrasi di Lampung.

Sewaktupemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
TERHADAPPENJAJAHAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA.. 22. Modul Sejarah Indonesia Kelas XI KD 3.2 dan 4.2 @2020, Direktorat SMA, Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN iv Ketiga : Perlawanan bangsa Indonesia menghadapi Pemerintah Hindia Belanda Bacalah modul ini hingga tuntas dan paham ikuti petunjuk kegiatan belajar yang ada modul Cek
MASAPENDUDUKAN JEPANG Setelah Pendudukan Jepang pada tahun 1942, Kabupaten Ketapang masih dalam status Afdeling. Perbedaanya hanya terletak pada Kepemimpinannya saja. Semua diambil langsung oleh Jepang. SEJARAH SINGKAT KABUPATEN KETAPANG MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB Uc1SjZ8.
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/8
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/428
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/108
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/170
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/109
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/427
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/181
  • 8fbujmzf6i.pages.dev/480
  • mengevaluasi penjajahan pemerintah hindia belanda